Postingan Terbaru

    Translate

    Tradisi Makanan dan Minum Masyarakat Aceh

    Makanan pokok  masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup mencolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan rakyat Indonesia lainnya adalah pada pendamping nasi atau yang biasa disebut dengan lauk-pauk. Lauk-pauk yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat aceh cenderung spesifik dimana lebih mnyerupai masakan India, tentunya berbeda dengan masyarakat jawa. Misalnya hanya mengkonsumsi tempe saja tanpa ada lauk-pauk lain. Di Aceh, biasanya seseorang makan tidak hanya di temani satu jenis lauk saja, melainkan sampai dua atau tiga jenis lauk.

    Gambar: Peulot Aceh

    Lauk-lauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Masakan khas Aceh yang sulit ditemukan di daerah lain antara lain adalah gulai kambing (kari kambing) sie reboih, keumamah, eungkot paya, mie Aceh, dan martabak. Martabak pun sudah di modifikasi sedemikian rupa sehingga di masing-masing daerah dengan rasa yang berbeda. Selain mengkonsumsi nasi putih, nasi gurih yang biasa dimakan oleh sebagian besar masyarakat Aceh dipagi hari merupakan ciri khas tertentu. Sedangkan dalam tradisi minum, masyarakat Aceh adalah kopi. Bahkan kopi gayo yang mentereng ke seluruh dunia.

    Berikut saya menampilkan video bagaimana masyarakat aceh menikmati secangkir kopi ditemani dengan nasi gurih di warung-warung kopi


    Oleh karena itu, tak megherankan apabila dipagi hari warung-warung kopi di Aceh penuh. Di sana ada sosok masyarakat yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pelut dan ditemani secangkir minuman khas, Yah.. Kopi.

    Sejarah Syariat Islam di Aceh

    Dalam perspektif perubahan dan masyarakat paska-kolonial, maka munculnya tuntutan pemberlakuan hukum syari’ah itu di satu sisi merupakan bagian dari tuntutan hak atas budaya sendiri dalam kerangka dominasi budaya modern Barat. Ia merupakan kelanjutan historis dari tuntutan kemerdekaan, nasionalisme, dan pertarungan ideologi di masa lalu. Pertarungan itu kini tidak hanya dalam kerangka berbasiskan ideologi Islam atau Timur-Barat yang abstrak melainkan juga sistem yang terbangun di negara sendiri atau domestik bentukan masa lalu dimana Barat merupakan unsur dominan. [1]

    Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian, hukum Islam telah menga1ami perkembangan secara berkesinambungan. baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan kekuatan sosial budaya itu. [2]

    Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk menerapkan syariah Islam sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu. Bahkan selepas era Soeharto yang represif, aspirasi umat itu makin bergelora. Sebagai bukti misalnya, setelah berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah beberapa bagian syariah Islam mulai diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Selain di propinsi Aceh, sebagian elemen syariah diformalisasikan melalui peraturan daerah di beberapa propinsi lain, seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur), Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan). [3]

    Gambar: Polisi syariat sedang melakukan razia busana muslim

    Sejarah Aceh dan Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi Mekkah ini pada posisi yang khas, dan kekhasan tersebut lebih-lebih lagi dalam soal agama. Syari'at Islam bagi masyarakat Aceh adalah bagian tidak terpisahkan dari adat dan budayanya. Hampir seluruh tatanan kehidupan keseharian masyarakat diukur dengan standar ajaran Islam, dalam artian merujuk pada keyakinan keagamaan, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang tidak selalu tepat dan relevan. Di sinilah letak muatan psikologis petingnya penerapan "syari'at Islam" bagi masyarakat Muslim. Dan ini juga yang menjadi bagian dari alasan mengapa penerapan syari'at Islam di Aceh akan sangat menentukan masa depan daerah ini. [4]

    Dalam Islam, syariah (“cara” atau “jalan”) sering diartikan sebagai seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran, kitab utama agama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia: terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan syariah yang menekankan pada tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang berasal dari Islam. [5]

    Berikit saya tampilkan video bagaimana ketika syariat islam tidak diindahkan oleh masyarakat aceh itu sendiri dalam sebuah Razia


    dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika razia tersebut menjadi berita di televisi nasional, berikut videonya:


    Reformasi membuka jalan bagi masyarakat Aceh untuk kembali menuntut pemberlakuan syariat Islam, [6]  sesuai dengan keistimewaan Aceh. Pemerintah Pusat merespon berbagai tuntutan itu dengan mengundangkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pelaksanaansyariat Islam memperoleh dasar hukum pasca reformasi tahun 1998. Tepatnya tahun 2001, melalui UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan tanggal 9 Agustus 2001. [7]  Serta UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahaan Aceh (selanjutnya disingkat dengan UUPA) diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam konteks politik hukum, berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan hukum ke arah hukum yang baru pasca lahirnya undang-undang dimaksud, belum banyak dapat dihasilkan.

    Referensi:
    [1] Ahmad Suaedy , Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia, The 9th Conference of The Asia Pacific Sociological Association, Improving the Quality of Social Life: A Challenge for Sociology, June 13 – 15, 2009, Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali, Indonesia.h 2.

    [2] Didi Kusnadi, kertas dibaca pada artikel pdf,  Hukum Islam Di Indonesia:Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum,.h.1.

    [3] Muhammad Ismail Yusanto, Kertas di baca pada, Penerapan syariat Islam di Indonesia: Tantangan dan Agenda., h.1.

    [4] Nurjannah Ismail, Syari’at Islam dan Keadilan Gender, First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies, h.6 .

    [5] Human Right Watch, Menegakkan Moralitas, Pelanggaran Dalam Penegakan Syariat Islam di Aaceh, Indonesia. h.17.

    [6] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syarit Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004), h,25.

    [7] Marzuki Abubakar, “Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial” Syariat Islam Di Aceh: Sebuah Model Kerukunan Dan Kebebasan Beragama. h.152.